Perilaku AI dan Tantangannya
Oleh : Dr. Asyahri Hadi Nasyuha, M.Kom.
Dosen Prodi : Sistem Informasi Universitas Teknologi Digital Indonesia
Bidang Penelitian dan Keminatan Penulis : DSS, Expert System, Data Mining, Artificial Intelligence, IoT
Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) saat ini semakin banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari fitur rekomendasi di media sosial, chatbot layanan pelanggan, hingga teknologi mobil tanpa pengemudi. Meskipun AI menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam berbagai bidang, pemahaman tentang bagaimana AI "berperilaku" serta tantangan yang muncul darinya menjadi semakin penting untuk diperhatikan.
Secara umum, perilaku AI merujuk pada cara sistem
kecerdasan buatan merespons situasi berdasarkan data dan algoritma yang
dimilikinya. Berbeda dengan manusia yang memiliki naluri, etika, dan empati
dalam mengambil keputusan, AI mengandalkan proses logika berbasis data yang
pernah dipelajarinya. Misalnya, ketika kita menonton video tertentu di YouTube,
sistem AI akan mempelajari preferensi kita dan mulai merekomendasikan video
serupa di kemudian hari. Ini merupakan bentuk perilaku adaptif dari AI yang belajar
berdasarkan pola interaksi pengguna.
Namun, perilaku AI ini tidak selalu bisa diprediksi
secara mutlak. Salah satu alasannya adalah karena banyak sistem AI, khususnya
yang berbasis machine learning dan deep learning, bersifat
seperti "kotak hitam". Artinya, kita sulit untuk benar-benar
mengetahui alasan atau proses internal mengapa AI mengambil keputusan tertentu.
Ini bisa menimbulkan tantangan, terutama dalam konteks yang membutuhkan
akuntabilitas, seperti bidang kesehatan, hukum, atau keuangan.
Tantangan utama dari perilaku AI terletak pada isu bias
atau keberpihakan. Karena AI belajar dari data historis, ia bisa saja mewarisi
bias yang terkandung dalam data tersebut. Contohnya, jika sistem rekrutmen
otomatis dilatih dari data lamaran kerja di masa lalu yang cenderung memilih
kandidat pria, maka AI bisa saja "mengulang" bias tersebut dan
menyulitkan kandidat perempuan untuk lolos seleksi. Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku AI tidak netral secara mutlak, AI hanya sebaik data yang digunakan
untuk melatihnya.
Selain itu, AI juga menghadapi tantangan etis dan
hukum. Salah satu isu besar adalah soal privasi. Banyak sistem AI yang
memproses data pengguna secara masif, seperti lokasi, riwayat pencarian, hingga
rekaman suara. Jika tidak diatur dengan ketat, penggunaan data ini dapat
melanggar hak privasi individu. Peraturan seperti GDPR di Uni Eropa dibuat
untuk menanggapi persoalan ini, namun masih banyak negara yang belum memiliki
regulasi serupa yang kuat.
Tantangan lainnya adalah mengenai tanggung jawab atau
liability. Jika sebuah mobil otonom menabrak pejalan kaki, siapa yang
bertanggung jawab? Apakah pembuat perangkat lunaknya, produsen mobilnya, atau
pengguna yang berada di dalam kendaraan? Situasi seperti ini menunjukkan bahwa
perilaku AI menimbulkan dilema hukum yang belum sepenuhnya terpecahkan.
Tidak hanya itu, AI juga menghadirkan tantangan dari
sisi sosial dan ekonomi. Dengan kemampuan otomatisasinya, AI berpotensi
menggantikan banyak pekerjaan manusia, terutama yang bersifat rutin. Hal ini
dapat menyebabkan pengangguran struktural jika tidak diantisipasi dengan
pelatihan ulang tenaga kerja dan kebijakan pemerintah yang adaptif. Sebuah
studi oleh McKinsey menyebutkan bahwa hingga 2030, sekitar 15% pekerjaan global
berisiko tergantikan oleh otomatisasi berbasis AI.
Terakhir, terdapat juga tantangan terkait transparansi
dan kepercayaan publik. Banyak orang masih ragu untuk mempercayai keputusan
yang dibuat oleh mesin, apalagi jika hasilnya tidak bisa dijelaskan secara
logis. Oleh karena itu, konsep explainable AI mulai dikembangkan, yaitu
sistem AI yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu menjelaskan dasar
keputusannya kepada manusia.
Kesimpulannya,
meskipun AI telah memberikan banyak manfaat dan kemajuan teknologi, kita tidak
boleh mengabaikan tantangan yang menyertainya. Perilaku AI yang berkembang
pesat perlu diimbangi dengan pemahaman, regulasi, dan pendekatan etis yang
kuat. Membangun AI yang bertanggung jawab, adil, dan transparan bukan hanya
tugas teknis, tetapi juga tanggung jawab sosial yang harus melibatkan berbagai
pihak, mulai dari pemerintah, pengembang teknologi, akademisi, hingga
masyarakat umum.