Terbitan

Membangun Konten Digital Berbasis Kearifan Lokal

  • Penerbit KEDAULATAN RAKYAT
  • Tanggal Terbitan 04-07-2025
Membangun Konten Digital Berbasis Kearifan Lokal

Membangun Konten Digital Berbasis Kearifan Lokal

Oleh : Agung Budi Prasetyo, S.Kom., M.Kom.
Jabatan : Kepala UPT Perpustakaan Universitas Teknologi Digital Indonesia

       Pernahkah anda menjumpai sebuah live youtube dimana sang content creator hanya duduk saja selama lebih dari 2 jam dan “tidak ngapa-ngapain”. Benar, mereka hanya mematung sambil melakukan siaran live. Tentu mengherankan. Tapi ada yang lebih mengejutkan. Tayangan tersebut telah ditonton 386 ribu kali dan mendapat 4,5 ribu like. Konyol. Tapi tunggu dulu. Ada yang lebih membagongkan. Mereka berhasil meraup $1000USD alias Rp.16 juta lebih dari monetisasi konten tersebut. Wouw.

I’m content creator? Dalam kasus di atas sulit berkata iya karena tidak ada inspirasi positif di dalamnya. Konten-konten semacam itu justru bisa berpotensi mendegradasi kreatifitas dan jika diteruskan dapat mendegradasi budaya dan menghilangkan identitas. Tapi bak dua sisi mata uang, dalam dunia content creator ada yang “lurus” ada juga yang tidak. Yang lurus akan selalu mencari dan mengangkat ide-ide baru yang bermanfaat untuk menginspirasi pengikutnya sementara yang “agak-agak lain” akan melakukan hal sebaliknya yang terkadang sulit diterima nalar orang kebanyakan.

Di pihak lain ada pemerintah (pemerintah daerah) yang sedang habis-habisan mengangkat kearifan lokal tapi justru seperti kehabisan cara untuk menarik para content creator. Pemerintah butuh content creator karena pemerintah tidak mungkin melakukannya sendiri, effortnya sangat besar. 

Di Jogja sendiri baik pemprov maupun pemkab telah menggaungkan sederet program digital demi bisa mengangkat kearifan lokal. Pemkot Jogja telah meluncurkan Jogja Smart Service, Jogja Creative Hub, dan pelatihan konten kreatif berbasis budaya. Sementara Pemkab Sleman telah menggaungkan Sleman Smart Regency, dukungan terhadap UMKM digital, branding produk lokal. Untuk kab Bantul pemerintah telah melakukan Digitalisasi UMKM, festival budaya yang bisa dijadikan konten digital. Sementara Pemkab Kulon Progo telah memunculkan Smart City Kulon Progo, Jogja Agro Techno Park, dan potensi konten dari budaya tani dan alam. Dan yang terakhir Pemkab Gunungkidul, melalui Dispussip, baru saja mengumpulkan masyarakat dalam sebuah seminar literasi dengan tema Membangun Konten Digital Berbasis Kearifan Lokal yang menghadirkan Pakar kepustakaan, UTDI sebagai Perguruan tinggi bidang IT dan Content Creator Gunung Kidul yang telah sukses.

Tapi itu semua belum cukup. Pemerintah butuh influencer. Disinilah masyarakat bisa ambil bagian. Namun kendalanya bukanlah masyarakat tidak mau. Ada hal yang menjadikannya sulit. Pertama sudah pasti pendanaan karena untuk menjadi content creator (pertama kali) butuh modal. Kedua, mereka tidak memiliki kompetensi, baik digital maupun budaya. Kompetensi ini akan dibutuhkan khususnya dalam hal menggali kearifan lokal yang akan menjadi materi konten dan juga dalam menggunakan teknologi IT untuk produksi konten. Lantas apa yang dapat dilakukan? Ya, sinergi. Di sinilah diperlukan sinergi antara Pemerintah daerah, Masyarakat, Perguruan tinggi, dan teknologi.

Teknologi khususnya IT menjadi sarana dan prasarana utama dalam sinergi ini. Kamera, gadget, aplikasi editing audio/audio akan menjadi sarana, sementara map, web, clouds, youtube, medsos menjadi prasarananya. Model penyajian dapat berupa Live video, podcast, konten web, game digital, VR, GPS dan Notifikasi, dll. Contoh, Game digital dapat diciptakan dengan tema kearifan lokal. Ini pasti menarik. Demikian juga VR dapat diciptakan untuk mengkonversi suasana nyata ke dalam dunia virtual, sementara GPS dan push notification dapat dimanfaatkan untuk menotifikasi pengunjung bahwa mereka sedang melintasi/memasuki area tertentu di daerah yang memiliki kearifan lokal tertentu. Dan masih banyak lagi potensi teknologi lainnya.

Perguruan tinggi, khususnya bidang IT juga sangat diperlukan. Mereka dapat masuk melalui Tridharma kedua dan ketiga yaitu Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. PT dapat mengambil bagian sebagai pemandu masyarakat dalam menggunakan teknologi IT, sebagai pendamping masyarakat dalam memetakan potensi kearifan lokal yang dapat menjadi materi konten, sebagai pendamping dalam produksi konten digital, sekaligus sebagai motivator yang menyadarkan bahwa masyarakat adalah penentu berhasil tidaknya program-program kearifan lokal di daerah mereka. Dan satu lagi, PT juga dapat berperan dalam mencari dana hibah (penelitian dan pengabdian masyarakat) untuk membantu mengatasi keterbatasan anggaran dan modal.

Intinya, daerah punya kearifan lokal, Masyarakat punya potensi sebagai  content creator, Pemerintah punya regulasi dan dukungan, Teknologi menyediakan sarana dan prasarana, dan Perguruan Tinggi dapat melakukan Tridharmanya. Minimal keempat pihak di atas harus "diarahkan" untuk melakukan sinergi ini. Inilah sinergi yang disebut dengan sinergi keistimewaan digital yang dapat digunakan untuk memperkuat keistimewaan Jogjakarta.

Anda terpanggil? Kami tunggu kiprahnya.