Tantangan dan Harapan bagi Generasi Muda di Era Ekonomi Digital
Oleh : Aloysius Agus Subagyo, S.E., M.Si.
Dosen Prodi : Sistem Informasi Akuntansi Universitas Teknologi Digital Indonesia
Bidang Keminatan : Sistem Informasi Akuntansi, E-Commerce, Finance
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menyita perhatian publik. Namun kali ini, penyebabnya bukan semata krisis ekonomi global atau pandemi, melainkan laju kemajuan teknologi, terutama kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan otomatisasi digital. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan RI menunjukkan bahwa sepanjang semester I tahun 2024, terjadi lebih dari 100.000 kasus PHK di berbagai sektor, naik tajam dibandingkan tahun sebelumnya. Yang mengejutkan, sebagian besar terjadi di sektor yang justru dianggap adaptif, seperti industri kreatif, teknologi, dan layanan digital. Dalam laporan World Economic Forum tahun 2023, disebutkan bahwa sebanyak 83 juta pekerjaan akan hilang secara global akibat adopsi AI dan teknologi otomatisasi hingga tahun 2027. Meski diproyeksikan ada penciptaan 69 juta pekerjaan baru, tetap ada potensi defisit hingga 14 juta posisi kerja. Sementara International Monetary Fund (IMF) memperkirakan bahwa sekitar 40 persen pekerjaan di seluruh dunia berisiko terdampak AI, dengan negara berkembang menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
AI membawa efisiensi tinggi, mempercepat pengambilan keputusan, dan memotong biaya operasional. Namun, banyak pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh manusia kini dapat digantikan mesin atau algoritma. Sektor kreatif di Indonesia sudah mulai merasakan dampaknya. Menurut laporan CompleteAItraining.com, sejumlah agensi digital memangkas hingga 60% stafnya karena beralih menggunakan AI generatif seperti ChatGPT dan Midjourney untuk kebutuhan desain dan konten. Tak hanya di sektor kreatif, sektor jasa, keuangan, dan manufaktur juga menunjukkan tren serupa. Fenomena ini membawa pesan penting: siapa yang tidak siap beradaptasi akan tertinggal. Alih-alih takut, kita perlu memanfaatkan momen ini sebagai momentum untuk melompat. Transformasi digital menciptakan kebutuhan besar akan tenaga ahli digital: pengembang perangkat lunak, analis data, insinyur AI, pakar keamanan siber, hingga pengelola cloud computing.
Menguasai teknologi digital di era sekarang bukan lagi sekadar keunggulan, melainkan sebuah keharusan. Di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang marak akibat otomatisasi dan kemajuan kecerdasan buatan (AI), kemampuan digital menjadi penyelamat sekaligus pintu menuju peluang baru. Banyak perusahaan mengurangi tenaga kerja manual dan administratif karena digantikan oleh sistem otomatis. Namun di saat yang sama, mereka justru membuka lowongan untuk talenta digital: pengembang aplikasi, analis data, pakar keamanan siber, dan profesi berbasis teknologi lainnya. Dari sisi ekonomi, menguasai teknologi digital memungkinkan individu menciptakan lapangan kerja sendiri, antara lain sebagai Content creator, affiliator, freelancer, pelaku bisnis online, atau pengembang solusi digital. Hal ini memperluas akses terhadap penghasilan, bahkan lintas negara. Teknologi juga mempercepat alur informasi dan transaksi, sehingga memperkuat daya saing di pasar global. Ketika dunia kerja semakin tidak menentu, keterampilan digital memberikan stabilitas dan fleksibilitas. Maka, investasi terbaik hari ini bukan sekadar mencari pekerjaan, tapi mempersiapkan diri menjadi relevan dengan perkembangan zaman. Menguasai teknologi berarti memiliki kendali atas masa depan, bukan menjadi korban dari perubahan.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam menyiapkan generasi yang siap menyambut perubahan. Calon mahasiswa harus mulai memilih pendidikan tinggi yang mampu menjawab tantangan zaman digital. Pendidikan bukan lagi soal gelar, tapi keterampilan. Universitas Teknologi Digital Indonesia (UTDI) menjadi perguruan tinggi di Yogyakarta yang responsif terhadap perubahan ini. Dengan program-program unggulan seperti Bisnis Digital, Manajemen Ritel, Informatika, Sistem Informasi, dan Teknologi Komputer, UTDI membekali mahasiswa dengan keterampilan digital yang aplikatif dan relevan dengan kebutuhan industri saat ini. UTDI juga menerapkan kurikulum yang mendukung eksplorasi kecerdasan buatan, pengembangan sistem berbasis web, serta kolaborasi dengan startup dan dunia usaha. Tujuannya jelas: mencetak lulusan yang tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi pencipta solusi digital. Dengan tren transformasi digital, lulusan perguruan tinggi harus mampu bekerja lintas bidang dan cepat beradaptasi dengan teknologi baru Pendidikan tinggi yang berbasis teknologi, seperti UTDI, menjadi jalur strategis bagi generasi muda yang ingin bersaing dan unggul di tengah persaingan global.
Teknologi tidak bisa dihentikan. Namun kita bisa memilih: ikut hanyut, atau berselancar di atas arusnya. Bagi generasi muda, kini saatnya mengambil keputusan berani, menyongsong masa depan dengan bekal keterampilan digital, berpikir kritis, dan semangat adaptif. Karena masa depan bukan milik mereka yang paling pintar atau kuat, tetapi milik mereka yang paling siap berubah. Mempersiapkan diri untuk masa depan bersama UTDI adalah sebuah pilihan tepat.