Artificial Intelligence, Akhlak, dan Martabat Manusia di Era Digital
Oleh : Febri Nova Lenti, S.Si., M.T.
Dosen Prodi : Informatika Universitas Teknologi Digital Indonesia
Bidang Penelitian : Artificial Intelligence, Software Engineering
Kemajuan Artificial Intelligence (AI) kerap dipahami sebagai penanda utama kemajuan peradaban digital. Teknologi ini menjanjikan efisiensi, ketepatan, dan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, di tengah laju inovasi tersebut, muncul pertanyaan yang semakin relevan untuk direnungkan: ke arah mana peradaban digital ini bergerak, dan apakah kemajuan teknologi masih berpijak pada nilai akhlak serta martabat manusia?
AI kini hadir dalam ruang-ruang pengambilan keputusan yang menentukan hidup banyak orang. Sistem berbasis data digunakan untuk menyalurkan bantuan sosial, menyaring pelamar kerja, hingga merekomendasikan akses layanan publik. Keputusan yang dihasilkan tampak objektif karena berbasis algoritma. Padahal, AI bekerja dari data yang dikumpulkan manusia, data yang tidak pernah sepenuhnya bebas dari bias, ketimpangan, dan keterbatasan konteks sosial.
Disinilah persoalan akhlak muncul. Ketika manusia direduksi menjadi sekumpulan data, martabat kemanusiaan beresiko terpinggirkan. Persoalan ini tampak jelas dalam praktik pengumpulan dan pemanfaatan data pribadi. Banyak pengguna layanan digital tidak sepenuhnya menyadari bagaimana data mereka digunakan, disimpan, atau bahkan diperjualbelikan. Ketika terjadi kebocoran data, dampaknya tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menyentuh rasa aman dan kepercayaan publik. Pada titik ini, persoalan data sesungguhnya adalah persoalan martabat manusia.
Dalam konteks layanan publik, penggunaan sistem otomatis sering dipandang sebagai solusi atas keterbatasan birokrasi. Namun, ketika seorang warga dinyatakan tidak layak menerima bantuan hanya karena tidak sesuai dengan parameter sistem, teknologi dapat berubah menjadi otoritas yang sulit digugat. Keputusan yang seharusnya bersifat sosial dan kontekstual direduksi menjadi hasil pemrosesan data.
Karena itu, AI perlu ditempatkan sebagai alat bantu, bukan penentu tunggal. Keterlibatan manusia dalam keputusan akhir, transparansi algoritma, serta mekanisme koreksi menjadi prasyarat agar teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan. Tanpa prinsip-prinsip tersebut, efisiensi justru dapat menggerus keadilan dan rasa tanggung jawab sosial.
Nilai-nilai Pancasila memberikan kerangka etik yang relevan dalam menata arah peradaban digital. Kemanusiaan yang adil dan beradab menegaskan bahwa manusia tidak boleh direduksi menjadi objek data. Keadilan sosial mengingatkan bahwa teknologi seharusnya memperluas manfaat bagi banyak orang, bukan memperkuat dominasi segelintir pihak. Pancasila, dalam konteks ini, bukan slogan, melainkan kompas moral dalam kebijakan dan praktik teknologi.
Dalam perspektif Islam, kemampuan mengembangkan AI merupakan amanah dari penggunaan akal. Akal tidak hanya berfungsi untuk mencipta, tetapi juga untuk menimbang dampak dan menahan diri. Prinsip maslahah menempatkan kemanfaatan bersama sebagai tujuan utama, sementara potensi mafsadah seperti ketidakadilan, eksploitasi, dan kerusakan sosial harus dicegah sejak tahap perancangan.
Pada titik inilah peran institusi pendidikan, khususnya program studi berbasis IT, menjadi krusial. Kampus bukan sekadar ruang produksi tenaga teknis bagi industri digital, melainkan ruang pembentukan watak peradaban. Kurikulum IT yang hanya menekankan kecakapan algoritmik dan efisiensi sistem berisiko melahirkan sumber daya manusia yang cerdas secara teknis, tetapi miskin kepekaan sosial. Padahal, para lulusan inilah yang kelak merancang sistem, menentukan parameter, dan mempengaruhi keputusan yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat.
Karena itu, pendidikan IT perlu secara sadar menempatkan etika, akhlak, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian integral dari proses belajar, bukan sekadar mata kuliah pelengkap. Pembahasan tentang bias algoritma, privasi data, dampak sosial AI, serta nilai-nilai Pancasila dan prinsip kemaslahatan perlu hadir dalam ruang kelas dan praktik proyek. Mahasiswa perlu diajak tidak hanya bertanya apakah sebuah sistem dapat dibuat, tetapi juga apakah ia adil, manusiawi, dan membawa manfaat.
“Nilai seseorang ditentukan oleh apa yang ia lakukan dengan ilmunya.” (Ali Bin Abi Thalib RA)